DENPASAR - Kasus yang membelit Rektor Unud Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara, yang disalah satu media menyebutkan bahwa adanya kelebihan setoran Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) senilai Rp 1, 8 miliar akibat adanya kesalahan sistem.
Kondisi itu sudah dijawab oleh Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, usai praperadilan status tersangka, Senin 17 April 2023.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
" Sepertinya itu sudah saya sampaikan, kalau ada orang tua (mahasiswa) yang salah transfer kita akan fasilitasi, " sebutnya.
Menghubungi kuasa hukum Rektor, Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., melalui pesan elektronik mengungkapkan bahwa kasus tersangka yang disematkan pada Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara tidak mendasar.
" Bisa rusak sistem hukum kita jika penegak hukum memaksakan kehendaknya sendiri menggunakan kewenangannya, " ungkap Gede Pasek, Selasa (18/04/2023).
Pra peradilan itu kan memang kompetensi-nya ada di pengadilan negeri. " Baru kali ini saya dengar urusan pra peradilan katanya ke PTUN, " sindirnya.
Ia juga menjelaskan bahwa permohonan yang diajukan sudah jelas juga soal penetapan tersangka kliennya, kalau soal ikutannya adalah permohonan lanjutan sebagai konsekwensi permohonan pencabutan tersangka, baik itu misalnya soal pengembalian alat bukti, status penahanan, ataupun juga pencekalan dan lainnya.
Ia juga kecewa terhadap jawaban yang diberikan oleh termohon, yakni jawaban tergolong sama sekali tidak menyentuh hal substansi yang di masalahkan pemohon.
" Misalnya berapa sebenarnya kerugian negara, bagaimana menghitungnya dan dimana kewenangan termohon menentukan kerugian negara "
Ia juga menyebutkan mekanisme pengelolaan SPI, Universitas Udayana telah dikawal oleh 5 auditor, yaitu BPKP, BPK, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik.
" Ketika semua itu sudah ada hasil BPK, BPKP, Inspektorat, Satuan Pengawas Internal dan akuntan publik yang menyatakan clear dan clean tata kelola keuangan SPI Unud, " ungkapnya.
Ia juga mengaku heran bahwa pihak Pemohon (Rektor) dikatakan tersangka karena jabatannya apa dan perbuatannya yang mana, " Apakah sebagai ketua panitia, wakil rektor atau rektor karena termohon membuat *tempus delictie 2018-2022. Orang di tersangkakan kan karena perbuatannya dikaitkan jabatan yang diembannya.
*Tempus Delicti merupakan waktu terjadinya perbuatan delik atau tindak pidana. Tempus Delicti penting untuk menentukan waktu atau kapan terjadinya suatu tindak pidana dan juga untuk menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi tersebut.
" Nah ini yang krusial malah tidak ditanggapi. Itu sama saja dengan rancunya kasus ini "
" Masih sangat banyak yang esensi tetapi tidak ada jawaban dan itu menandakan permohonan sangat kuat secara hukum dan status Tersangka harus dicabut, " tegas pasek dalam pesannya.
Kemudian pihak termohon menyebutkan sesuai dengan ketentuan pasal 160 Rbg jo. Pasal 162 Rbg bahwa eksepsi yang diajukan oleh termohon yakni mengenai tidak berwenangnya lembaga pra peradilan untuk memeriksa dan mengadili permohonan *a quo.
*Suatu istilah yang terdapat pada akhir dokumen hukum dalam peradilan, baik perdata maupun pidana yang prinsipnya menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim pemeriksa perkara. Arti harfiahnya : apabila hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
" Kami mohon kepada yang terhormat Hakim pra peradilan pada Pengadilan Negeri (PN) Denpasar agar terlebih dahulu memutus eksepsi tentang Kewenangan mengadili, sebelum pemeriksan berlanjut pada pokok perkara " (Tim)