JAKARTA - Di antara nama kandidat presiden yang muncul, Anies yang paling banyak dibicarakan publik. Makin lama, makin populer. Elektabilitasnya pun berpotensi untuk terus naik. Dilihat dari trend selama ini, Anies yang paling berpeluang untuk menjadi presiden RI 2024-2029. Bagaimana mengkalkulasinya?
Pertama, survei tentang Anies natural, gak ada rekayasa. Survei dilakukan oleh lembaga-lembaga survei yang tidak terikat dan tanpa biaya dari Anies. Bukan survei pesanan. Hasilnya? Tembus dua digit. Padahal, Anies tidak punya tim, dan belum melakukan branding.
Kedua, masyarakat menaruh harapan besar terhadap Anies. Ini dapat dilihat dari antusiasme publik terhadap Anies. Apapun berita terkait Anies banyak mendapat respon publik. Anda bisa cek media.
Setiap ada upaya mendiskreditkan Anies, reaksi publik luar biasa besar. Ada semacam "gelombang perlawanan" terhadap mereka yang memusuhi dan menyerang Anies. Mereka "tanpa disadari" telah menjadi pasukan pembela Anies. Dan ini menyebar di berbagai daerah. Ini terjadi secara organik. Tidak ada yang mengendalikan dan menggerakkan.
Ketiga, deklarasi Anies for Presiden begitu cepat merebak dan merata di semua daerah. Relawan Anies sangat banyak dan beragam. Para relawan membentuk sekoci-sekoci masing-masing secara organik. Ada banyak nama relawan Anies, mulai nama ANIES (Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera), Sobat Anies, Kawan Anies, ABC (Anies Baswedan Club) yang memiliki relawan di 24 provinsi, Milenial Anies Sulsel dan Sulteng, Satria, ABF (Anies Baswedan Fans), GAS (Gerakan Arek Suroboyo), Rapi (Relawan Anies Presiden Indonesia) Kalimantan, KRPB, Urang Awak Sumbar, Jawara Banten, dan banyak lagi. Terlalu panjang kalau semua disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
Ini menunjukkan bahwa rakyat sedang bergerak secara organik untuk mengupayakan agar Anies di 2024 menjadi pemimpin bangsa.
Keempat, Anies punya begitu banyak kontens yang nantinya dapat menjadi modal untuk diiklankan ke publik. Kontens yang dimaksud adalah hasil kerja, prestasi dan penghargaan yang diterima Anies selama lima tahun memimpin Jakarta. Dalam hal ini, Anies terlihat menonjol dan melampaui umumnya kepala-kepala daerah yang lain.
Kelima, Anies punya kekuatan narasi. Ini besar pengaruhnya saat debat capres. Ada lima kali debat capres-cawapres yang diadakan oleh KPU. Mayoritas rakyat akan nonton debat ini. Mereka menyimak dan membincangkan setelahnya. Di warung kopi, obrolan tukang becak, kongkow para petani di sawah, diskusi ringan para pegawai rendahan hingga tingkat manajer dan direktur, semua akan bicara tentang hasil debat. Di sini Anies punya magnet dan kekuatan. Narasi Anies diprediksi mampu menjangkau hati dan persepsi publik.
Debat inilah yang pernah saya jadikan sebagai variabel ketika mengkalkulasi "pilgub DKI 2017". Sehari sebelum putaran pertama pilgub DKI, saya menulis artikel dengan judul "Ahok Tamat, Anies Berkibar, AHY Pemimpin Masa Depan". Maksudnya, AHY akan kalah, tapi punya kesempatan kedepan. Usia AHY masih muda, akan selalu ada kesempatan jika tidak salah langkah.
Analisis saya soal pilgub DKI 2017 sempat dicibir oleh sejumlah teman aktifis. Saat itu, elektabilitas Anies paling buncit. Jauh dari Ahok dan AHY. Mereka yakin AHY yang akan menang. Faktanya, "sunnatullah" bisa dijelaskan dengan standar ilmiah bahwa Anies Baswedan yang menang. Dalam konteks ini, identifikasi variabel mesti tepat.
Kepada temen-temen di salah satu group WA yang meyakini Ahok bakal menang, di situ ada Eva Sundari dan Guntur Romli, saya bilang kepada mereka: 1 miliar aku siapin kalau Ahok menang. Faktanya, Ahok memang kalah. Ini semata hanya soal kalkulasi yang masing-masing kita punya keyakinan.
Bicara AHY 2017, mirip Ganjar Pranowo saat ini. Elektabilitasnya lumayan tinggi, tetapi rentan. Ganjar tidak memiliki pondasi atas elektabilitasnya. Tidak ada kekuatan dalam diri Ganjar yang bisa diiklankan ke publik untuk menaikkan elektabilitasnya. Ganjar butuh support pihak lain, misalnya PDIP atau Pak Jokowi. Tanpa support unsur luar, elektabilitas Ganjar akan stagnan dan tidak berubah. Akan segitu-gitu aja.
Ganjar kartu mati. Hanya hidup jika disupport pihak lain. Kalau PDIP tidak memberi tiket ke Ganjar dengan semua mesin politiknya, atau Pak Jokowi tidak all out dukung Ganjar dengan semua akses kekuasaannya, Ganjar sulit untuk diharapkan.
Seperti AHY 2017, elektabilitasnya langsung tinggi, karena berbasis pada dukungan psikologis dan sosiologis. AHY ganteng, cool dan anak SBY (mantan presiden dua periode). Enak dilihat. Secara psikologis, ini daya tarik. Secara sosiologis, AHY keturunan Jawa dan wakilnya dari Betawi. Pemilih di Jakarta paling panyak dari Jawa, dan jumlah warga Betawi juga cukup besar. Saat pasangan AHY-Silvie diumumkan, elektabilitasnya langsung melejit. Tapi, karena elektabilitas ini diperoleh dari unsur luar, maka menjadi sangat rentan. Terbukti, elektabilitas AHY kemudian merosot.
Beda dengan Ganjar dan AHY, Anies punya kekuatan di dalam dirinya. Anies punya track record, narasi, kemampuan dalam melahirkan gagasan dan solusi yang melampaui umumnya kandidat lain. Anies hanya butuh tiket dan dukungan partai. Kalau syarat ini didapat, Anies akan landing.
Lima alasan di atas cukup untuk mengatakan bahwa Anies paling berpeluang dan potensial menjadi presiden RI 2024-2029.
Jakarta, 8 Januari 2022
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa